Warrior

“Warrior” bisa dibilang film cowok banget, karena banyak memamerkan kekerasan yang mungkin tidak cocok dengan penonton cewek, tapi bukan berarti saya menyuruh cewek untuk tidak nonton film ini. Toh selain suguhan laganya yang terbilang brutal, “Warrior” memiliki sajian drama yang bisa dinikmati semua orang. Kekerasan di film ini pun bukan asal tampil dan mempertontonkan orang saling baku hantam di arena bersisi delapan yang dikelilingi pagar berkawat, lebih dikenal dengan nama octagon. Saya sekali lagi melihat, sama seperti “The Fighter”, film ini seperti ingin menunjukkan bahwa hidup tidaklah selalu memberikan hal yang lembek-lembek saja, membuat kita nyaman, dan memberi yang enak-enak melulu, adakalanya hidup itu keras, menawarkan kita tantangan, menguji kita dan terkadang solusi untuk menghadapi ujian tersebut adalah melawan balik dengan lebih keras lagi. Tommy dan Brendan, keduanya dihadapi dengan masalah pelik, bukan saja masalah dengan keluarga tetapi juga dibelit kesulitan ekonomi, Sparta adalah solusi mereka, dan seperti juga hidup yang harus dihadapi dengan perjuangan, turnamen Sparta ini bukan tempat untuk orang yang mudah menyerah, Sparta adalah rimba-nya petarung-petarung, tapi tidak selalu yang terkuat dalam soal otot yang akan menang, tapi juga otak dan adu strategi untuk bisa menjadi juara. Hidup juga seperti itu, jika kita mudah untuk berkata menyerah, siap-siap saja untuk menyingkir dan kalah.
Sama seperti Tommy dan Brendan, kita juga adalah petarung-petarung dalam sebuah ring bernama kehidupan. “Warrior” mengijinkan kita untuk mengambil pelajaran dari cerita, yang walau klise tapi dibuat penuh makna dan menyentuh hati para penontonnya. Drama pun dikemas untuk tidak banyak berbasa-basi tapi langsung ke titik permasalahan, disana ada hubungan ayah dan kedua anaknya yang renggang dan kakak-beradik yang juga tidak akur. Gavin dengan cepat mengajak kita untuk masuk dalam konflik tersebut dan dibuat merasa nyaman mengikuti kemana kisah ini akan bergerak, Gavin mengikat penontonnya untuk terus bersamanya tanpa membiarkan kita untuk bersentuhan dengan rasa bosan, itu tidak akan pernah terjadi di film ini. Ritme penceritaan yang bisa dikatakan aman, kadang lambat dan cepat itu disesuaikan dengan adegannya, yang perlahan memancing kita untuk penasaran dengan apa yang akan terjadi dengan Tommy dan Brendan. “Warrior” punya cara yang “hangat” untuk menyampaikan dramanya, menonjolkan hubungan ayah-anak yang retak karena masa lalu, menyentuh sudah pasti dan diakui membuat saya berkaca-kaca, hal yang jarang ditemui ketika saya menonton film drama.
Penggemar UFC pastinya akan suka dengan film ini, kemasan laga yang memperlihatkan pertarungan demi pertarungan beladiri campuran, dibuat senyata mungkin oleh Gavin dan sangat menghibur, itu yang terpenting. Adrenalin serasa dipukul-pukul oleh setiap adegan tarungnya, terpompa untuk tetap terus “bersenang-senang”, sisi penonton yang menyukai kekerasan memang akan dimanjakan dengan setiap baku hantam yang terjadi di film ini. Setiap kemenangan tanpa sadar akan direspon oleh sorakan, layaknya kita sedang melihat pertandingan asli, Gavin tahu betul bagaimana menggelar pertandingan “palsu” agar jadi terlihat beneran, tidak saja aksi-aksi yang terlihat mata tetapi juga atmosfir pertandingan yang sangat mendukung turnamen Sparta, dari penonton, komentator, peraturan, sampai cuplikan-cuplikan berita yang membuat film ini semakin “real”. Namun penopang utama yang menjadikan “Warrior” makin bersinar adalah para pemainnya, terutama Tom Hardy, didukung oleh badan yang besar, kemampuan aktingnya sebagai Tommy lebih “besar” lagi ketimbang tubuh berototnya. Dibantu juga dengan akting gemilang Nick Nolte dan Joel Edgerton sebagai ayah dan kakaknya, trio ini dengan chemistry-nya yang kuat begitu kompak menghadirkan kisah haru tentang keluarga yang retak.
Sekeras apapun “Warrior” menyampaikan ceritanya, dengan segala pernak-pernik MMA, pada akhirnya unsur yang paling kuat “menghajar” penontonnya adalah dramanya yang sukses menyentuh hati. Wajar jika film ini dengan mudah untuk dicintai, tidak perlu lagi bilang ceritanya klise, jika dibuat dengan benar seperti yang dilakukan oleh Gavin, nilai lebih pasti akan diberikan oleh penonton di ujung cerita. Caranya mengajak penonton untuk terlebih dahulu mengenal karakternya lebih dalam, manjur untuk nantinya kita jadi punya modal untuk mendukung setiap pertandingan yang dihadapi Tommy dan Brendan, seketika kita jadi fans UFC dan dua petarung yang sedang mencoba mencari solusi dan jawaban atas masalahnya di atas ring ini. Well, tampaknya yang tidak menyukai adegan-adegan mixed martial arts yang dikemas brutal itu, setidaknya masih punya alasan untuk bisa terhibur dengan suguhan dramanya. Tapi yang pasti bagaimana pun juga Gavin telah me-mixed laga dan drama untuk jadi satu kesatuan yang teraduk “manis”, hasilnya adalah sebuah film yang setiap menitnya begitu nikmat untuk ditonton, tidak terasa lama walau durasi terlihat melelahkan. “Warrior” sukses menjadi pemenang di hati penontonnya dan membuat hati tersebut “babak belur” dengan kisahnya yang menyentuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar